Metode Baru untuk Terapi Anak Autis Menggunakan Google Glass
Pada umumnya anak-anak secara alami belajar membaca ekspresi wajah dengan berinteraksi dengan keluarga dan teman. Namun berbeda dengan anak normal pada umumnya, anak autis harus mengasah keterampilan tersebut melalui terapi perilaku yang melibatkan terapis.
Terapis melatih anak-anak autis melalui kegiatan terstruktur, seperti latihan dengan flash cards yang menggambarkan wajah dengan ekspresi yang berbeda-beda. Namun sayangnya jumlah terapis sangat sedikit dibandingkan jumlah anak yang didiagnosis menderita autis.
Dennis Wall, ilmuwan data biomedis spesialisasi pediatri di Stanford University, dan rekannya menciptakan Google Glass untuk terapi perilaku anak-anak autis di rumah. Kamera headset merekam wajah orang-orang pada bidang pandang anak dan memasukkan informasi itu ke aplikasi smartphone.
Baca : Musik Mampu Meningkatkan Konektivitas Otak pada Anak-anak
Aksesori berteknologi tinggi ini mengajarkan anak-anak autis membaca ekspresi wajah agar dapat mengenali situasi sosial dengan lebih baik. Aplikasi smartphone baru yang terhubung dengan headset Google Glass menggunakan perangkat lunak pengenal wajah untuk memberikan pembaruan terkini kepada pemakainya tentang emosi yang orang-orang ekspresikan.
Aplikasi tersebut dirancang untuk mengenali ekspresi inti seperti kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, jijik, kejutan, ketakutan, dan ketenangan. Ketika aplikasi ini mengenali ekspresi salah satu perasaan tersebut, maka pemakai Google Glass akan mendapatkan informasi nama emosi tersebut melalui speaker headset atau melalui emotikon di layar kecil di sudut bingkai kacamata kanan.
Dalam uji coba pendahuluan yang dijelaskan pada Digital Medicine, sebanyak 14 anak dengan gangguan autis menggunakan Google Glass di rumah rata-rata lebih dari 10 minggu. Setelah terapi menggunakan perangkat tersebut, anak-anak menunjukkan adanya peningkatan keterampilan sosial, termasuk peningkatan kontak mata dan kemampuan untuk menentukan ekspresi wajah.
Anak-anak autis usia 3 hingga 17 tahun menggunakan Google Glass di lingkungan keluarga mereka setidaknya selama 20 menit sesi per minggu. Kemudian, sebelum dan sesudah terapi, orang tua wajib mengisis kuesioner yang digunakan untuk menilai keterampilan sosial anak-anak mereka. Skor di bawah 60 berada dalam kisaran “normal”, sedangkan skor 60-65, 65-75, dan di atas 75 berturut-tururt menunjukkan autisme ringan, sedang, dan berat. Selama perawatan, skor rata-rata anak turun dari 80.07 menjadi 72.93.
Meskipun hasil yang diperoleh cukup memuaskan, penelitian tersebut tidak memasukkan kelompok kontrol yaitu anak-anak yang tidak melakukan terapi menggunakan Google Glass. Jadi tidak sepenuhnya jelas apakah terapi dengan Google Glass adalah satu-satunya penyebab peningkatan keterampilan sosial selama pengobatan itu dilakukan, kata Ned Sahin, seorang ahli saraf di Brain Power, sebuah perusahaan yang mengembangkan teknologi yang dapat dipakai untuk membantu orang dengan autisme, di Boston. Lebih lanjut, uji coba terkontrol secara acak, di mana anak-anak secara acak ditugaskan untuk menerima perawatan atau tidak perlu dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan lebih lanjut mengenai efek terapi menggunakan Google Glass.
Wall dan timnya saat ini sedang mengerjakan satu percobaan yang sama dengan melibatkan 74 anak-anak autis usia 6-12 tahun. Jika terapi Google Glass bekerja dengan baik dalam uji klinis selanjutnya dan dijelaskan untuk penggunaan secara luas, alat tersebut bisa menjadi media pembelajaran yang baik untuk banyak anak autis di dunia.
Sumber : sciencenews