Risiko Penyembuhan Stroke dengan Terapi Cuci Otak
Beberapa tahun belakangan Mayjen TNI, dr. Terawan Agus Putranto, menjadi populer berkat terapi cuci otak yang digunakannya untuk mengobati atau mencegah penyakit stroke kepada pasiennya. dr. Terawan mengklaim bahwa terapi cuci otak mampu mencegah dan menyembuhkan penyakit stroke.
Dilansir melalui Kompas.com, para ahli saraf berpendapat bahwa terapi cuci otak bukanlah metode pengobatan penyakit stroke melainkan hanya merupakan metode diagnosa. Pada terapi cuci otak, alat yang digunakan adalah Digital Substracion Angiography (DSA) yang sebenarnya digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan pembuluh darah di otak seperti penyempitan, sumbatan atau aneurisma (penggelembungan di dinding pembuluh darah) .
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) Profesor Moh Hasan Machfoed, alat yang digunakan untuk terapi otak sama seperti alat rontgen, jadi tidak dapat digunakan sebagai terapi melainkan hanya untuk deteksi. Sebelum DSA digunakan, biasanya pasien dicek menggunakan MRI atau CT Scan.
Lebih lanjut, Hasan menjelaskan bahwa pada terapi cuci otak, terapis memasukkan obat yaitu heparin ke pembuluh darah otak penderita stroke. Pemberian heparin tersebut mampu melebarkan pembuluh darah dengan cara melarutkan sumbatan khususnya untuk pembuluh vena. Namun demikian metode tersebut sifatnya untuk diagnostik, bukan untuk pengobatan.
Penggunaan alat DSA untuk penyembuhan stroke dianggap melanggar etika kedokteran karena berisiko menyebabkan kematian. Penggunaan DSA untuk pengobatan maupun pencegahan stroke harus terlebih dahulu melalui berbagai pengujian, seperti uji coba pada hewan.
Menurut Dokter Spesialis Saraf Fritz Sumantri, DSA tidak bisa dilakukan kepada seseorang yang tidak sakit. DSA baru bisa dilakukan apabila pasien sudah terkena serangan stroke berulang atau serangan stroke dengan faktor risiko tertentu, seperti kencing manis, jantung, hipertensi, hingga stroke di usia muda.