Serba-Serbi

Teknometer Atasi Inefisiensi Riset

Dana riset besar dan proses penelitian yang lama sering kali tidak menghasilkan luaran bermakna dan dapat digunakan industri, bahkan bisa berakhir dengan produk yang mangkrak. Masalah ini mulai diatasi dengan menerapkan teknometer.

Direktur Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Asep Husni Yasin Rosadi, Rabu (23/10/2013), di Jakarta, memaparkan, teknometer berupa peranti lunak penganalisis data akan mengeluarkan indikator hasil tingkat kesiapan teknologi untuk diterapkan atau diadopsi industri.

Dalam teknometer yang dirancang berbasis Microsoft Excel ada 9 skala tingkat kesiapan teknologi. Skala 1-3 merupakan tingkatan riset teknologi dasar, skala 4-6 merupakan kelompok riset terapan, dan skala 7-9 merupakan riset pengembangan.

Penerapan teknometer di BPPT sejak tahun 2011, kata Kepala Bidang Evaluasi dan Pelaporan Biro Perencanaan BPPT Sugeng Santoso, menunjukkan, dari 115 kegiatan riset rancang bangun dan rekayasa, hanya 43 persen yang masuk kategori siap ditindaklanjuti bersama industri. Kegiatan yang lolos itu masuk skala 6-9.

Dari kelompok ini ada 10 persen yang sudah dapat dikomersialkan atau diproduksi. Kegiatan teknologi yang umumnya dapat masuk ke tahap industri komersial berasal dari bidang agroindustri (slow released fertilizer), teknologi informasi dan komunikasi (pembaca kartu e-KTP), serta bidang rancang bangun, antara lain pipa apung bahan karet.

Lebih dari 50 persen kegiatan riset terapan berada di skala 4-6, yang sudah sampai tahap prototipe, tetapi masih perlu didorong pendifusiannya di industri. Penelitian pada tahap ini akan diberi tambahan waktu pengembangan hingga tahun 2014. ”Diharapkan tahun depan jumlah teknologi yang masuk ke industri mencapai 67 persen,” kata Sugeng.

Berdasarkan teknometer, kegiatan riset perekayasaan yang dihentikan tergolong kecil, 5 persen ke bawah. Menurut Husni, dari awal BPPT hanya mendanai proposal kegiatan riset yang masuk kategori riset terapan.

Pengukuran teknometer untuk memberi fokus dan skala prioritas pada kegiatan yang berprospek baik untuk diterapkan di industri. ”Dengan teknometer, penghematan anggaran akan signifikan. Untuk satu kegiatan riset bisa mencapai lebih dari Rp 1 miliar per tahun,” ujar Husni.

Tahap pengembangan

Pengukuran tingkat kesiapan teknologi pertama kali dikembangkan NASA, dinamai Technology Readiness Level (TRL) Calculator, tahun 2003. Pada tahun 2005 Air Force Research Laboratory (AFRL) AS mengembangkan TRL Calculator.

Pada tahun yang sama, BPPT mengadopsi pola pengukuran itu dan melakukan modifikasi dengan mengembangkan metodologinya. Tahun 2006, BPPT dan Kementerian Riset dan Teknologi meluncurkan TRL Meter BPPT-Ristek versi 1.0 xls.

Sejak itu pengembangan terus dilakukan hingga tahun 2011 diluncurkan teknometer.

Teknometer kini telah dipakai Kementerian Riset dan Teknologi, Batan, serta Kementerian Perindustrian.

 

Sumber : Kompas